Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi tentang air mata darah

Teratai Biru: air mata darah

Ketika senja perlahan datang, Berpijak di bumi, langit memerah, Air mata darah terurai di tangan, Cerita gelap yang tak terucap.
Birunya teratai, kain Kebaya tergores, Di reruntuhan rumah yang dulu berharga, Perjalanan hidup yang tak terpilah, Hanya bisa disembunyikan dalam candaan.
Dalam hening, desiran angin pun reda, Namun luka dalam itu tak pernah pudar, Seperti tuduhan-tuduhan terabaikan, Yang mengepak di sepertiga malam.
Air mata darah mengalir menghujani, Bumi yang penuh dengan dosa, Membasuh ranum-ranum tanah tak berdaya, Mengantar rasa sakit ke sang surya.
Begitu dalam, rasa itu pun terkunci, Di kamar hati yang penuh dengan duka, Tak tergambarkan dalam kata-kata biasa, Cangkang tembaga hampa di titik nadir.
Seperti petir yang menyambar langit menggiur, Air mata darah ini adalah bisikan, Keabadian yang terkunci dalam katakunci, Menemukan dirinya bersama air hujan.
Di perjalanan hidup yang penuh dengan duri, Gelombang biru berkecamuk memutar, Air mata darah pun hilang dalam tawa, Hanya cerminan kenangan yang terus bertambah.
Langit hati tiada henti berbisik, Dalam desiran angin yang melintas, Air mata darah yang jatuh tak terduga, Merenungkan perjalanan tak tergantikan.
Teratai biru menjelang mentari pagi, Menyemai harapan di relung kalbu, Air mata darah berhenti saja terurai, Puisi hidup yang terkubur dalam jiwa tertawa.
Teratai biru: air mata darah, Mengisi catatan sejarah yang tak terucap, Tetap kuat dalam perjalanannya yang suram, Memancarkan cahaya di tengah kelam.




Teratai Biru: Air Mata Darah



Teratai Biru: air mata darah

bungat3r4taib1ru.blogspot.com

darah


Bella Sungkawa
Bella Sungkawa Hai saya Bella Sungkawa, individu multifaset dengan hasrat untuk menjelajahi dunia, tetap aktif, dan menikmati pengalaman sinematik. Pelajari lebih lanjut tentang dia di blognya.

Posting Komentar untuk "Puisi tentang air mata darah"